semangat tahun baru hijriyah 1431


Menggelorakan Semangat Hijrah
Oleh: Ah. Syahrul Rahmat xc/05 man lamongan

Menyambut tahun baru Hijriyyah 1431 kali ini, ragam penderitaan berupa bencana alam (gejala alam) maupun bencana kemanusiaan (kebebalan manusia) terus mendera negeri ini susul-menyusul tanpa henti.
Sepanjang tahun, penderitaan-penderitaan itu seolah menjadi daftar alarm alamiah yang mengawali masa depan kemanusiaan orang-orang Indonesia selama ini. Layaknya seorang bebal dan keras hati, bangsa ini memang selalu terlambat bangkit dan sadar diri sebelum akhirnya, semuanya tanpa terkecuali, kadung terperosok ke dalam jurang kebinasaan.
Bencana alam; mulai banjir hingga gempa, bencana politik; korupsi dan kolusi yang kian merajalela sehingga menderivasikan bencana ekonomi berkepanjangan. Bencana hukum; mengakibatkan setiap kita tidak percaya pada tatanan dan institusi hukum karena sering bersikap diskriminatif pada sebagian orang dan kebal pada sebagian lain sehingga kita lebih memilih main hakim sendiri. Bencana moral; pun tak kalah membahana.
Maka dari itu, kurang arif bijaksana rasanya apabila rangkaian peristiwa massal yang tragis itu, dianggap sebatas peristiwa kebetulan belaka yang hanya menjadi nostalgia pahit perjalanan bangsa ini di masa silam. Seiring tahun baru Hijriyyah, seyogianya semua itu menjadi momen refleksi-kolektif yang mampu menyemangati transisi peradaban bangsa yang kian carut-marut ini seiring perjalanan kehidupan demokrasi yang terseok-seok.
Sudah semestinya kita membaca tanda zaman ini sebagai isyarat kasih sayang Allah untuk sebuah bangsa bebal terutama dalam menemukan jati diri (kesadaran)nya. Kita tidak sepatutnya menjadikan awal penanggalan hijriyyah sebatas euforia peringatan seremonial belaka sementara substansi reflektif perjuangan hijrah itu sendiri luput dari agenda umat. Agar kita tidak kehilangan momentum, sudah saatnya kita merefleksi secara mendalam peristiwa besar kenabian ini terutama dalam kaitannya dengan masa depan hidup bangsa kita.
Momentum Hijrah
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah (622 M), termasuk peristiwa sejarah mahapenting karena merupakan tonggak keberhasilan tegaknya sebuah transisi peradaban kemanusiaan dari kegelapan dan penuh ketidakadilan (min al-zhulumat) menuju cahaya kebenaran dan keadilan universal (ila al-nur). Hijrah saat itu tidak sekadar menjadi penanda penting perpindahan geografis (eksodus massal) dari satu tempat ke tempat lain. Lebih dari itu, menjadi metamorfosa pembebasan manusia Jahiliyyah dari pelbagai belenggu syirik ketuhanan dan perbudakan maupun eksploitasi antarmanusia (taharrur/liberation).
Sebelum Madinah berdiri tegak sebagai mercusuar peradaban Islam –dalam kurun waktu sepuluh tahun, perjuangan getir selama tiga belas tahun di Makkah sebetulnya menjadi modal utama. Berbagai penganiayaan, siksaan, dan perilaku diskriminatif dari kaum aristokrat despotik Quraisy yang menimpa Nabi beserta ummatnya, secara tidak sadar, justru menjadi proses penempaan mentalitas baja (akidah) kaum Nabi menuju kegemilangan yang kemudian diukir di Madinah.
Karena itu, penguatan akidah yang justru notabene lebih lama dari penguatan civil society di Madinah, mengisyaratkan dengan tegas akan halnya merubah mentalitas dan niat kolektif adalah kunci awal dan mendasar bagi sebuah kemajuan yang hendak dicapai.
Rasulullah adalah seorang pembaca tanda-tanda zaman paling jeli yang patut ditiru. Bersama-sama para sahabat, beliau tidak surut untuk terus menyampaikan kebenaran meski banyak alang-melintang merintangi perjalanan. Karena yakin akan janji Allah bahwa kebenaran akan senantiasa memenangi perhelatan dialektis perjalanan kemanusiaan di dunia ini, beliau terus meretas peradaban manusia yang egaliter.
Komunitas muhajir (kaum imigran pendatang) dengan mental baja itulah kemudian berhasil menjadikan penderitaan mereka selama tiga belas tahun di Makkah sebagai modal utama menuju cita-cita besar peradaban agung. Mereka, bahu-membahu bersama kaum pribumi Anshar (sang penolong), membangun peradaban keemasan Islam di Madinah yang gaungnya menggema ke seluruh pelosok daratan Eropa dan Rusia.
Tak luput, totaliterianisme dan despotisme dua negeri adi daya, Romawi di Barat dan Persia mewakili kejayaan Timur, tersinari kegelapannya dengan pancaran peradaban Islam. Bukti ini, tentu saja tidak bisa dilewatkan siapapun bahwa Islam pernah membuka peradaban kemanusiaan paling penting ke seluruh penjuru dunia.
Meneladani ‘Komunitas Nabi’
Sebagaimana disinggung di atas, secara psikologis, penderitaan bisa membawa pelakunya pada perilaku positif maupun negatif. Penderitaan menjadi penempaan positif apabila berikutnya mencipta gairah serta kekuatan untuk bangkit dan berbenah diri ke arah yang lebih baik. Pada saat yang sama, derita bisa malah negatif tatkala membuat pelakunya trauma, larut dalam kesedihan panjang, putus asa, frustasi, dan tidak jarang malah bunuh diri.
Kegemilangan Rasulullah Saw beserta umatnya ketika membangun masyarakat majemuk yang cukup modern (civil society) di Madinah, disebut sejarawan Barat Michael Hart (1986), sebenarnya justru berangkat dari deraan penderitaan yang menimpa Nabi beserta umat beliau berupa penganiayan, siksaan, perlakuan diskriminasi, maupun represifitas hegemonik dari kaum aristokratik Quraisy.
Letak kecerdasan seorang pengarah sosial, berikutnya mampu menciptakan tatanan peradaban besar justru melalui ibrah pengalaman getir masa lampau. Menjadikan semua itu sebagai alarm yang memekakkan telinga untuk bangkit dan sadar menuju kemajuan yang dicita-citakan.
Pendek kata, sebagai kritik dahsyat makrokosmos (alam semesta) untuk kejahilan sistem hidup di level mikrokosmos (manusia dan segala corak kehidupannya). Kita tahu, doktrin-normatif telah mendeklarasikan sejak lama bahwa manusia adalah penghuni sekaligus penanggungjawab tunggal atas pemakmuran bumi dan segala isinya di dunia ini; sebagai khalifah.
Membuka Lembaran Baru
Guna menuju lembaran baru dan noktah putih peradaban bangsa Indonesia, agaknya perlu introspeksi kolektif guna membangkitkan bangsa ini dari ragam keterpurukkan. Kita butuh kesadaran dan ketergugahan guna ‘memelototi’ secara jeli kekeliruan apa yang membuat bangsa kita salah poros dan terbelakang, sekaligus pada saat yang sama memikirkan agenda apa yang kemudian harus dilakukan agar bisa segera hengkang dari berbagai kemunduran itu.
Dalam bahasa sederhana, dari mana menuju ke mana. Pertanyaan ini mesti diajukan agar cita-cita yang hendak dicapai, jelas dan terarah. Sebab, untuk memperbarui peradaban, jelas terletak pada kemauan kolektif yang tulus dari individunya itu sendiri dalam merubah ketimpangan selama ini.
Melalui momentum hijrah, kita sebetulnya perlu menggelorakan perubahan radikal, mendasar, revolusioner, dan ‘gila-gilaan’. Betapa tidak, korupsi, kolusi, dan terorisme alih-alih diberantas malah kian subur sehingga terus menyisakan penderitaan paralel seluruh rakyat negeri ini. Logika keluhuran moralitas sayup-sayup terdengar parau, sementara nafsu durjana menjadi idola. Kebenaran dianggap tercela dan kebohongan disebut terpuji. Inilah dunia gila ketika kesadaran telah tenggelam sedemikian akut dan logika nilai menjadi serba terbalik.
Inilah kenapa Nabi SAW dulu sempat dijuluki ‘majnun’ (orang gila) oleh orang-orang yang sebenarnya gila hanya karena menawarkan perubahan besar yang utopis menurut logika masyarakat Jahiliyyah kala itu. Perlu dicatat, Jahiliyyah adalah karakter bagi fenomena butanya alam kesadaran, bukan menunjuk mundurnya keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Sebab, betapa saat itu peradaban Romawi maupun Persia pun tidak kalah maju dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Dengan gigih menawarkan perubahan masyarakat madani yang berbasis akidah dan moralitas Tauhid, Nabi terus mengkampanyekan pentingnya suksesi sosial yang gradual guna menuju peradaban besar. Untuk cita-cita besar jelas membutuhkan tekad kuat dan proses panjang, tidak bim salabim abra kadabra. Yang terpenting, dan itu tugas setiap kita, adalah kesungguhan dan keseriusan mengawal perjalanan panjang kemajuan peradaban negeri ini menuju gerbang kemakmuran yang didambakan seperti halnya manifesto peradaban Nabi sebagai seorang penuntun moral (moral force) dan pengawal perubahan (social agent) yang berikrar, “Semata-mata aku diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan moralitas umat (manusia).”
Selamat tahun baru Hijriyah 1431. Semoga umat Islam dan bangsa ini selalu makmur, gemilang, dan berjaya dengan penuh naungan ridha dan maghfirah Allah SWT. Mari kita songsong bersama menegakkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri berlimpah kemakmuran dengan penuh ampunan Allah. Amin…..!

0 komentar:

Posting Komentar


Menggelorakan Semangat Hijrah
Oleh: Ah. Syahrul Rahmat xc/05 man lamongan

Menyambut tahun baru Hijriyyah 1431 kali ini, ragam penderitaan berupa bencana alam (gejala alam) maupun bencana kemanusiaan (kebebalan manusia) terus mendera negeri ini susul-menyusul tanpa henti.
Sepanjang tahun, penderitaan-penderitaan itu seolah menjadi daftar alarm alamiah yang mengawali masa depan kemanusiaan orang-orang Indonesia selama ini. Layaknya seorang bebal dan keras hati, bangsa ini memang selalu terlambat bangkit dan sadar diri sebelum akhirnya, semuanya tanpa terkecuali, kadung terperosok ke dalam jurang kebinasaan.
Bencana alam; mulai banjir hingga gempa, bencana politik; korupsi dan kolusi yang kian merajalela sehingga menderivasikan bencana ekonomi berkepanjangan. Bencana hukum; mengakibatkan setiap kita tidak percaya pada tatanan dan institusi hukum karena sering bersikap diskriminatif pada sebagian orang dan kebal pada sebagian lain sehingga kita lebih memilih main hakim sendiri. Bencana moral; pun tak kalah membahana.
Maka dari itu, kurang arif bijaksana rasanya apabila rangkaian peristiwa massal yang tragis itu, dianggap sebatas peristiwa kebetulan belaka yang hanya menjadi nostalgia pahit perjalanan bangsa ini di masa silam. Seiring tahun baru Hijriyyah, seyogianya semua itu menjadi momen refleksi-kolektif yang mampu menyemangati transisi peradaban bangsa yang kian carut-marut ini seiring perjalanan kehidupan demokrasi yang terseok-seok.
Sudah semestinya kita membaca tanda zaman ini sebagai isyarat kasih sayang Allah untuk sebuah bangsa bebal terutama dalam menemukan jati diri (kesadaran)nya. Kita tidak sepatutnya menjadikan awal penanggalan hijriyyah sebatas euforia peringatan seremonial belaka sementara substansi reflektif perjuangan hijrah itu sendiri luput dari agenda umat. Agar kita tidak kehilangan momentum, sudah saatnya kita merefleksi secara mendalam peristiwa besar kenabian ini terutama dalam kaitannya dengan masa depan hidup bangsa kita.
Momentum Hijrah
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah (622 M), termasuk peristiwa sejarah mahapenting karena merupakan tonggak keberhasilan tegaknya sebuah transisi peradaban kemanusiaan dari kegelapan dan penuh ketidakadilan (min al-zhulumat) menuju cahaya kebenaran dan keadilan universal (ila al-nur). Hijrah saat itu tidak sekadar menjadi penanda penting perpindahan geografis (eksodus massal) dari satu tempat ke tempat lain. Lebih dari itu, menjadi metamorfosa pembebasan manusia Jahiliyyah dari pelbagai belenggu syirik ketuhanan dan perbudakan maupun eksploitasi antarmanusia (taharrur/liberation).
Sebelum Madinah berdiri tegak sebagai mercusuar peradaban Islam –dalam kurun waktu sepuluh tahun, perjuangan getir selama tiga belas tahun di Makkah sebetulnya menjadi modal utama. Berbagai penganiayaan, siksaan, dan perilaku diskriminatif dari kaum aristokrat despotik Quraisy yang menimpa Nabi beserta ummatnya, secara tidak sadar, justru menjadi proses penempaan mentalitas baja (akidah) kaum Nabi menuju kegemilangan yang kemudian diukir di Madinah.
Karena itu, penguatan akidah yang justru notabene lebih lama dari penguatan civil society di Madinah, mengisyaratkan dengan tegas akan halnya merubah mentalitas dan niat kolektif adalah kunci awal dan mendasar bagi sebuah kemajuan yang hendak dicapai.
Rasulullah adalah seorang pembaca tanda-tanda zaman paling jeli yang patut ditiru. Bersama-sama para sahabat, beliau tidak surut untuk terus menyampaikan kebenaran meski banyak alang-melintang merintangi perjalanan. Karena yakin akan janji Allah bahwa kebenaran akan senantiasa memenangi perhelatan dialektis perjalanan kemanusiaan di dunia ini, beliau terus meretas peradaban manusia yang egaliter.
Komunitas muhajir (kaum imigran pendatang) dengan mental baja itulah kemudian berhasil menjadikan penderitaan mereka selama tiga belas tahun di Makkah sebagai modal utama menuju cita-cita besar peradaban agung. Mereka, bahu-membahu bersama kaum pribumi Anshar (sang penolong), membangun peradaban keemasan Islam di Madinah yang gaungnya menggema ke seluruh pelosok daratan Eropa dan Rusia.
Tak luput, totaliterianisme dan despotisme dua negeri adi daya, Romawi di Barat dan Persia mewakili kejayaan Timur, tersinari kegelapannya dengan pancaran peradaban Islam. Bukti ini, tentu saja tidak bisa dilewatkan siapapun bahwa Islam pernah membuka peradaban kemanusiaan paling penting ke seluruh penjuru dunia.
Meneladani ‘Komunitas Nabi’
Sebagaimana disinggung di atas, secara psikologis, penderitaan bisa membawa pelakunya pada perilaku positif maupun negatif. Penderitaan menjadi penempaan positif apabila berikutnya mencipta gairah serta kekuatan untuk bangkit dan berbenah diri ke arah yang lebih baik. Pada saat yang sama, derita bisa malah negatif tatkala membuat pelakunya trauma, larut dalam kesedihan panjang, putus asa, frustasi, dan tidak jarang malah bunuh diri.
Kegemilangan Rasulullah Saw beserta umatnya ketika membangun masyarakat majemuk yang cukup modern (civil society) di Madinah, disebut sejarawan Barat Michael Hart (1986), sebenarnya justru berangkat dari deraan penderitaan yang menimpa Nabi beserta umat beliau berupa penganiayan, siksaan, perlakuan diskriminasi, maupun represifitas hegemonik dari kaum aristokratik Quraisy.
Letak kecerdasan seorang pengarah sosial, berikutnya mampu menciptakan tatanan peradaban besar justru melalui ibrah pengalaman getir masa lampau. Menjadikan semua itu sebagai alarm yang memekakkan telinga untuk bangkit dan sadar menuju kemajuan yang dicita-citakan.
Pendek kata, sebagai kritik dahsyat makrokosmos (alam semesta) untuk kejahilan sistem hidup di level mikrokosmos (manusia dan segala corak kehidupannya). Kita tahu, doktrin-normatif telah mendeklarasikan sejak lama bahwa manusia adalah penghuni sekaligus penanggungjawab tunggal atas pemakmuran bumi dan segala isinya di dunia ini; sebagai khalifah.
Membuka Lembaran Baru
Guna menuju lembaran baru dan noktah putih peradaban bangsa Indonesia, agaknya perlu introspeksi kolektif guna membangkitkan bangsa ini dari ragam keterpurukkan. Kita butuh kesadaran dan ketergugahan guna ‘memelototi’ secara jeli kekeliruan apa yang membuat bangsa kita salah poros dan terbelakang, sekaligus pada saat yang sama memikirkan agenda apa yang kemudian harus dilakukan agar bisa segera hengkang dari berbagai kemunduran itu.
Dalam bahasa sederhana, dari mana menuju ke mana. Pertanyaan ini mesti diajukan agar cita-cita yang hendak dicapai, jelas dan terarah. Sebab, untuk memperbarui peradaban, jelas terletak pada kemauan kolektif yang tulus dari individunya itu sendiri dalam merubah ketimpangan selama ini.
Melalui momentum hijrah, kita sebetulnya perlu menggelorakan perubahan radikal, mendasar, revolusioner, dan ‘gila-gilaan’. Betapa tidak, korupsi, kolusi, dan terorisme alih-alih diberantas malah kian subur sehingga terus menyisakan penderitaan paralel seluruh rakyat negeri ini. Logika keluhuran moralitas sayup-sayup terdengar parau, sementara nafsu durjana menjadi idola. Kebenaran dianggap tercela dan kebohongan disebut terpuji. Inilah dunia gila ketika kesadaran telah tenggelam sedemikian akut dan logika nilai menjadi serba terbalik.
Inilah kenapa Nabi SAW dulu sempat dijuluki ‘majnun’ (orang gila) oleh orang-orang yang sebenarnya gila hanya karena menawarkan perubahan besar yang utopis menurut logika masyarakat Jahiliyyah kala itu. Perlu dicatat, Jahiliyyah adalah karakter bagi fenomena butanya alam kesadaran, bukan menunjuk mundurnya keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Sebab, betapa saat itu peradaban Romawi maupun Persia pun tidak kalah maju dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Dengan gigih menawarkan perubahan masyarakat madani yang berbasis akidah dan moralitas Tauhid, Nabi terus mengkampanyekan pentingnya suksesi sosial yang gradual guna menuju peradaban besar. Untuk cita-cita besar jelas membutuhkan tekad kuat dan proses panjang, tidak bim salabim abra kadabra. Yang terpenting, dan itu tugas setiap kita, adalah kesungguhan dan keseriusan mengawal perjalanan panjang kemajuan peradaban negeri ini menuju gerbang kemakmuran yang didambakan seperti halnya manifesto peradaban Nabi sebagai seorang penuntun moral (moral force) dan pengawal perubahan (social agent) yang berikrar, “Semata-mata aku diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan moralitas umat (manusia).”
Selamat tahun baru Hijriyah 1431. Semoga umat Islam dan bangsa ini selalu makmur, gemilang, dan berjaya dengan penuh naungan ridha dan maghfirah Allah SWT. Mari kita songsong bersama menegakkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri berlimpah kemakmuran dengan penuh ampunan Allah. Amin…..!